7 Penulis legendaris Indonesia
Ungkapan yang berbunyi "pena lebih tajam daripada pedang", memang benar adanya. Salah satu buktinya adalah banyak buku atau novel yang membawa pengaruh besar pada kehidupan masyarakat, bahkan tercatat dalam sejarah. Seperti halnya karya karya besar para sastrawan Indonesia ini yang bukan hanya diakui di Indonesia saja bahkan diakui oleh mancanegara, merekalah sang penulis legendaris Indonesia. Berikut ini 7 Penulis legendaris Indonesia
1. Marah Rusli, Siti Nurbaya (1920)
Tak banyak yang tahu bahwa sastrawan kelahiran Padang, 7 Agustus 1889 ini juga berprofesi sebagai dokter hewan. marah Rusli merupakan salah satu tokoh penting Balai Pustaka, yaitu angkatan karya sastra yang diterbitkan sejak tahun 1920. Ia merupakan pengarang roman pertama dan mendapatkan gelar sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Waktu kecil, tokoh yang wafat tahun 1968 ini suka mendengarkan pendongeng keliling di kampungnya, dan ketika beranjak dewasa ia gemar membaca buku buku Belanda.
Siti Nurbaya (1920) merupakan karyanya yang paling terkenal dan dicetak ulang lebih dari 40 kali, termasuk ke dalam bahasa Rusia dan Malaysia. Kisah perempuan yang terpaksa menikah demi membayar hutang keluarga ini mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia di tahun 1969. Seperti penulis Balai Pustaka, Marah Roesli sering mengangkat isu pemberontakan terhadap adat yang mengekang. Sementara gaya penulisannya dipengaruhi sastra lama dan banyak menggunakan kiasan yang halus dan indah.
2. NH. Dini, Pada Sebuah Kapal (1972)
Wanita kelahiran 29 Februari 1936 ini mulai menulis sejak umur 9 tahun. Mantan pramugari tersebut sempat mengikuti suaminya yang seorang diplomat adal Perancis bertugas di Jepang, Prancis dan Amerika Serikat, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Aktivis lingkungan ini akhirnya memantapkan diri berprofesi sebagai pengarang. Ia juga membuka taman bacaan di Semarang dan Jogjakarta. Beberapa penghargaan dan prestasi di bidang sastra berhasil diraihnya. Salah satunya penghargaan dari pemerintah Thailand.
Sepanjang karirnya, pengarang yang sering disebut sebagai feminis ini terbilang produktif. Puluhan judul novel serta kumpulan cerpen telah ia hasilkan. Buku bukunya pun diterjemahkan ke berbagai bahasa. Kebanyakan kisahnya berlatar di luar negeri, salah satu novel nya yang paling terkenal adalah Pada Sebuah Kapal (1972) yang menceritakan tentang pencarian cinta seorang wanita yang diwarnai konflik ketidaksetiaan. Seting ceritanya berpindah pindah antara Indonesia, Jepang, Eropa serta perjalanan di kapal.
- 10 Sepatu terbaik Nike yang pernah dirilis
- 7 Penemuan penting yang berawal dari kekesalan
- 10 Tempat paling angker dan berhantu di dunia
3. Sutan Takdir Alisjahbana, Layar Terkembang (1937)
Angkatan penulis Pujangga Baru, yang muncul pada tahun 1930-1942 dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Selain sebagai penulis dan editor ia juga merupakan ahli bahasa. Penerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan RI inilah yang memperbaharui Bahasa Indonesia, agar dapat menjadi bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Salah satu cita cita Sutan Takdir Alisjahbana adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di Asia Tenggara, Pria kelahiran 11 Februari 1908 ini juga dikenal sebagai sastrawan serta intelektual Indonesia yang mendukung perkembangan pengetahuan modern.
salah satu karya yang banyak dibicarakan adalah Layar Terkembang (1937). Buku ini mengisahkan tentang dua beradik, Tuti dan Maria serta pemuda bernama Yusuf. Walau dibungkus cerinta cinta segitiga, namun tema semangat generasi muda, nasionalisme modernisasi dan feminisme juga dimunculkan di dalamnya. Menurut A. Teeuw, pengamat literatur Indonesia asal Belanda, novel ini termasuk dalam tiga karya tulis Indonesia terpenting sebelum Perang Dunia II, bersama Salah Asuhan (Abdul Muis) serta Siti Nurbaya (Marah Rusli).
4. Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (1980)
Boleh dikatakan ia adalah sastrawan yang identik dengan konfilk politik. Pram, panggilan akrabnya, dinilai memiliki paham yang berseberangan dengan Orde Baru. Hal ini membuat pria kelahiran 6 Februari 1925 tersebut menjadi tahanan politik selama 14 tahun. Di masa itu pula, karya pria yang mulai menulis sejak zaman kolonial Belanda tersebut dilarang beredar. Ia bahkan tidak diperbolehkan menulis semasa di tahanan. Di tahun 1992, ia dibebaskan dan setelah pergantian rezim dinyatakan tak bersalah. setelah bebas, Pram terus menulis dan sempat mendapat beberapa penghargaan Internasional seperti Ramon Magsaysay Award.
Pram menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa. Novel yang disebut tetralogi Buru menjadi sangat digemari. Judul judulnya adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988).
Tulis Sutan Sati merupakan seorang penyair dan sastrawan Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal zaman Jepang pada tahun 1942. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair.
Beliau merasakan masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang. Jadi ada karya-karyanya tentang penderitaan dan susahnya kehidupan saat masa penjajahan.
Semasa hidupnya, Tulis Sutan Sati pernah menjadi guru. Kemampuan mengarangnya kian terasah ketika ia menjadi salah satu redaktur di penerbitan, yang pada masa itu milik Belanda. Nama penerbitan tersebut adalah Balai Pustaka.
Tulis Sutan Sati wafat pada tahun 1942. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932)
6. Abdul Muis, Salah Asuhan (1928)
Jika ada yang menyebutkan nama Abdul Muis, mungkin yang pertama terlintas di pikiran kita adalah novel Salah Asuhan. Benar, novel itulah yang membuat namanya terkenal. Tak hanya dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah, Salah Asuhan juga sudah diangkat ke layar lebar.
Namun, Salah Asuhan bukan satu-satunya karya Abdul Muis. Bahkan, dia tak hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang wartawan dan pejuang di zamannya. Hebatnya lagi, 2 bulan setelah meninggal dunia, Abdul Muis ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Inilah kali pertama penetapan pahlawan nasional yang kemudian menjadi tradisi.
Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Abdul Muis lahir pada 3 Juli 1883 dan wafat pada 17 Juni 1959.
7. Buya Hamka, Dibawah Lindungan Ka'bah (1938)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern. Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau. Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur, Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli, Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya. Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang. Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada 2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali pertama difilmkan.
Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecap dan dianggap tidak pantas menulis kisah percintaan.[29] HB Jassin melihat kritikan terhadap Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka. "Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran." Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.
sources:
https://id.wikipedia.org/
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2017/02/biografi-tulis-sutan-sati-sastrawan.html
https://ibnuanwar.wordpress.com/2008/05/26/tulis-sutan-sati/
http://news.liputan6.com/read/2360501/abdul-muis-sastrawan-yang-jadi-pahlawan-nasional-pertama
http://bio.or.id/biografi-buya-hamka/