10 Pasukan prajurit wanita dalam sejarah Indonesia
Harus diakui, hampir tak ada catatan sejarah bahkan setingkat mitologi yang mengisahkan sedikit saja mengenai keberadaan prajurit wanita di Indonesia di masa-masa kuno. Catatan paling tua yang kita miliki mengenai keberadaan prajurit perempuan berasal dari abad ke-17. Catatan-catatan tersebut ditulis oleh orang Eropa (kebanyakan Belanda) yang berkunjung ke istana raja-raja di Nusantara seperti Aceh dan Mataram.
1. Si Pai Inong (Aceh)
Korp ini dibentuk pada masa Aceh diperintah oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V (1604 -16-07 M). Si Pai Inong dipimpin oleh dua Laksamana Wanita, yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksmana Muda Tjut Meurah Inseuen. Malah menurut Teuku H Ainal Mardhiah Ali dalam tulisannya "Pergerakan Wanita di Aceh Masa Lampau Sampai Masa Kini" dua laksamana itulah yang membebaskan Iskandar Muda dari penjara ketika ditahan oleh Sultan Alaidin Riayat Syah V.
Pembebasan Iskandar Muda itu juga yang kemudian merubah sejarah Aceh. Ketika Iskandar Muda naik ketampuk pimpinan sebagai Sultan, mampu membawa Aceh pada masa keemasan, yang membuatnya tersohor sampai sekarang.
2. Inong Balee (Aceh)
Sebelumnya, pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah IV (1589-1604) juga pernah dibentuk Armada Inong Balee, yang prajuritnya terdiri dari janda-janda, yang suaminya tewas dalam perang. Armada ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati merupakan seorang panglima wanita yang berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda dibawah pimpinan Cournoles dan Frederich de Houtman di perairan Aceh pada tahun 1599 Masehi.
Armada Inong Balee ini sering terlibat pertempuran di selat Malaka meliputi pantai Sumatera Timur dan Melayu. Karena itu pula, Marie van Zuchtelen, seorang penulis Belanda dalam bukunya "Vrouwelijke Admiral Malahayati" sangat mengagumi dan memuji Malahayati, yang disebutnya cerdik, bijaksana, dan berani dalam memimpin 2.000 prajurit wanita.
Laksamana Malahayati pula yang disuruh Sultan Alauddin Riayat Syah IV, untuk menerima dan menghadap utusan Ratu Inggris, Sir James Lancester dalam sebuah diplomasi ke Aceh pada 16 Juni 1606. Utusan itu membawa surat dari Ratu Inggris untuk Raja Aceh.
- 10 kolam renang alami dalam gua di Indonesia
- 4 Kota destinasi wisata terbaik di Myanmar
- 7 Jamur menyala yang ditemukan di Indonesia
4. Sukey Fakinah (Aceh)
Tengku Fakinah |
Dikutip dari buku Wanita Aceh dalam Pemerintahan dan Peperangan karangan Ali Hasjmy diketahui Fakinah adalah istri Teungku Ahmad. Keduanya adalah pahlawan perang yang berani, pendidik dan ulama.
Namanya muncul sebagai salah satu tokoh pejuang Aceh yang disegani kawan dan lawan. Ia juga dikenal sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras membangun kembali pesantrennya yang porak poranda karena peperangan.
Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang dan ulama besar.
Sebelum pecah perang di Aceh, Teungku Fakinah dan suaminya mengajar di Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah. Setelah pecah perang antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda, suami Tengku Fakinah, Teungku Ahmad, ikut serta dalam pertempuran. Ia kemudian meninggal dalam peperangan.
Sejak itu, Teungku Fakinah membentuk sebuah pasukan tentara setingkat resimen, yang disebut Sukey. Pembentukan pasukan ini direstui Sultan Aceh.
Sukey Fakinah terdiri dari empat batalyon (balang). Tengku Fakinah diangkat menjadi panglima perang empat batalyon tersebut. Salah satu dari keempat batalyon dalam Sukey Fakinah adalah kaum wanita. Sementara komandan-komandan kompi dan regu pada batalyon-batalyon lain juga dipimpin oleh wanita.
Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar. Ia turut bergerilya setelah lewat 10 tahun perang di pedalaman dengan beberapa pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuanku Hasyim Banta Muda.
Peran terbesar Teungku Fakinah dalam catatan sejarah lainnya adalah menyadarkan Teuku Umar, suami teman dekatnya Cut Nyak Dhien untuk kembali membela Aceh.
Ulama sekaligus tokoh Aceh ini meninggal dalam umur renta pada 3 Oktober 1933. Ia dimakamkan di tempat kelahirannya, di Lamdiran, Lambeunot atau Lam Krak, Aceh Besar.
5. Resimen Pocut Baren (Aceh)
Pocut Baren |
Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar 18 tahun, seorang janda yang luar biasa.
Pocut membangun sebuah benteng di “Gua Gunong Macang” yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan patroli Belanda. Setiap kali patroli Belanda melewati wilayah markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali dengan Membawa mayat serdadunya. Atas perintah Kapiten Heidens, Letnan Scheuler dari kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang “Gunong Macang”, tetapi tidak berhasil, sampai akhirnya ia (setelah mendapat persetujuan dari Kutaraja) membakar Gunong Macang dengan 2000 liter minyak tanah sehingga Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak yang mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari serdadu marsose yang terjebak dalam gua.
Di antara mayat-mayat yang ditemukan ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah Pocut Baren. Adapun Posut Baren sendiri dapat menerobos pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu pertempuran yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari “Neraka Gunong Macang” Pocut membangun kubu pertahanan baru, yang tidak lama kemudian ia telah menyerang pasukan Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat dengan pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.
Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja. Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa dipotong, dan menjadi cacat. Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang PocuT Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi
advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka akan bertambah menyala.Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume. Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang masa.
Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka. (Buya Hamka)
6. Nyimas Gamparan dan Pasukan Srikandi (Banten)
Nyimas Gumparo alias Nyimas Gamparan bersama 30 milisi wanita dan saudara-saudaranya menyerang kompeni belanda yang waktu itu sedang gencar-gencarnya melaksanakan program Cultuurstelsel (1830) dengan membangun jalan Anyer-Panarukan. Perang Cikande, Rangkas, Serang hingga ke Pandeglang pun tak terelakan. Serangan-serangan dilakukan Nyimas Gamparan beserta pasukannya. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakan.
Pasukan Srikandi ini bermarkas di Balaraja. Tempat singgah para raja (Asal Kata Balai Raja) atau ada yang menyebutkan tempat berkumpulnya BALA tentara RAJA. Serangan sporadis pasukan Nyimas Gamparan ternyata membuat repot kaum penjajah. Disebutkan Kompeni Belanda pada waktu itu telah banyak mengalami kerugian dan kebangkrutan.
Pasukan Nyimas Gamparan tidak mudah ditumpas oleh pasukan Kompeni Belanda. Kenyataannya, pasukan wanita ini mampu bertahan menghadapi serangan pasukan pengalaman perang. Adapun keunggulannya antara lain: Pertama, Pasukan wanita ini tangguh di medan perang (salah satu kaol menyebutkan sakti-sakti mandraguna). Yang kedua, pasukan Nyimas Gamparan menguasai medan perang gerilya di teritorialnya.
7. Langen Kusuma (Yogyakarta)
Tarian Langen Kusuma |
Penambahan jumlah prajurit ini sudah dilakukan bahkan ketika Sultan Hamengku Buwana II masih menjadi putra mahkota, yaitu salah satunya dengan membentuk pasukan prajurit wanita Langen Kusuma pada tahun 1767. Meskipun pada awalnya pembentukan prajurit wanita Langen Kusuma difungsikan sebagai prajurit pengawal putra mahkota, namun ketika Sultan Hamengku Buwana II naik tahta maka fungsi dan tugas prajurit wanita menjadi bertambah.
Tenaga prajurit wanita Langen Kusuma semakin dibutuhkan dengan semakin banyaknya intrik intrik politik yang terjadi di dalam Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II sehingga menyebabkan semakin dibutuhkannya tenaga penjaga bagi keamanan raja beserta keluarganya. Tak hanya itu, dengan alasan keamanan maka para pengawal raja dipilih kaum wanita. Bahkan di waktu malam hari, kamar raja diPrabayeksa hanya diperbolehkan dijaga oleh pengawal wanita sedangkan kaum pria dilarang untuk masuk.
8. Laskar Wanita Mangkunegara (Mataram, Jawa)
Pertunjukan Laskar Mangkunegara |
9. Prajurit Estri (Mataram, Jawa)
ilustrasi: Prajurit estri melawan kompeni Belanda |
Berdasarkan catatan orang-orang Belanda yang pertama kali berkunjung ke Mataram diketahu bahwa tradisi prajurit estri ini telah ada sejak zaman Sultan Agung (memerintah hingga 1645 M). Orang-orang Belanda itu bahwa mereka dikawal oleh ajudan perempuan. Dari sini kita tak memiliki bukti yang lebih tua yang membicarakan keberadaan prajurit estri di istana Jawa.
Walau pun prajurit-prajurit itu dipilih dari perempuan-perempuan tercantik di seantero kerajaan, raja hampir tidak pernah mengambil mereka menjadi selir. Mereka dianggap lebih beruntung daripada selir yang tidak boleh menerima tawaran pernikahan dari lelaki lain selama raja masih hidup dan bahkan setelah sang raja telah meninggal (Kumar, 2008: 5-6).
10. Emmy Saelan dan Laskar wanita Harimau Indonesia (Makassar)
Monumen Emmy Saelan |
Pada bulan September 1945, Sekutu sudah mendarat di Makassar. Secara formal, mereka bertugas mengontrol keamanan dan melucuti tentara Jepang. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa mereka bekerja untuk mengalihkan kekuasaan dari tangan Jepang ke Belanda.
Rakyat Sulawesi tidak suka dengan hal ini. Pada 17 September 1945, para pelajar perguruan islam Datu Museng mengibarkan bendera merah-putih di sekolahnya. Berkali-kali terjadi bentrokan antara pasukan NICA dengan pelajar-pelajar Indonesia.
Pada saat itu juga, sekelompok pemuda mendirikan organisasi bernama Pusat Pemuda National Indonesia (PPNI). Pemimpinnya adalah seorang pemuda Indonesia bernama Manai Sophiaan, kelak dubes Indonesia untuk Rusia. PPNI memainkan peranan penting di masa-masa awal perlawanan pelajar Sulawesi terhadap kolonialisme Belanda pasca proklamasi kemerdekaan.
Pada bulan Juli 1946, 19 organisasi pemuda se Sulawesi Selatan telah berkumpul di Polombankeng, sebuah daerah di Takalar, Sulawesi Selatan. Emmy Saelan dan adiknya, Maulwi Saelan, turut dalam pertemuan itu. Hadir pula pelajar-pelajar SMP nasional seperti Wolter Monginsidi, Lambert Supit, Abdullah, Sirajuddin, dan lain-lain.
Salah satu kesepakatan dari konferensi organisasi pemuda itu adalah pembentukan sebuah wadah bernama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Panglimanya adalah seorang pejuang pemberani, Ranggong Daeng Romo.
Lalu, seiring dengan semakin banyaknya senjata hasil rampasan, para pelajar SMP nasional lalu membentuk organisasi gerilya bernama ‘Harimau Indonesia’. Emmy Saelan ditunjuk sebagai pimpinan laskar wanita dalam organisasi ini dan sekaligus memimpin Palang Merah.
Mantan komandan pasukan wanita Makassar, Sri Mulyati, pernah menulis perihal pengalamannya bersama Emmy Saelan. Menurut Mulyati, Emmy dikenal sebagai seorang yang ahli menggunakan sandi. Sebagai missal, untuk mengenal mana kawan dan mana lawan, maka diperkenalkan sandi dengan memegang rambut. Jika seseorang berkenalan dengan memegang rambut, maka ia adalah kawan seperjuangannya.
23 Januari 1947, dalam posisi terjepit, pasukan Wolter Monginsidi pun memilih mundur.
Emmy Saelan, yang telah terpisah dengan Monginsidi, memimpin sekitar 40 orang pasukan bertempur dengan Belanda. Pertempuran terjadi dalam jarak yang sangat dekat. Seluruh anak buah Emmy gugur dalam pertempuran itu. Tinggal Emmy sendirian.
Pasukan Belanda mendekat dan memerintahkan Emmy menyerah. Tetapi, ia menolak dan terus melawan. Dan, karena senjata ditangannya tinggal granat, maka dilemparkanlah granat itu ke pasukan Belanda. Pasukan Belanda pun bergelimpangan, tetapi Emmy turut gugur dalam pertempuran jarak dekat itu.
JAS MERAH, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. (Soekarno)
http://www.wacananusantara.org/
http://id.wikipedia.org/
http://www.berdikarionline.com/
http://historia.co.id/
http://atjeh-meutuah.blogspot.com/
http://atjehpost.co/
http://acehtourismagency.blogspot.com/
http://hayudottie.staff.uns.ac.id/
http://sejarah.kompasiana.com/