Mereka Yang Pantang Menyerah, 10 Profesi Tuna Netra
1. Teknisi Tunanetra
Kepala BPBI Abiyoso menugaskan Kepala Seksi Kerjasama Kelembagaan untuk menelusuri keberadaan Endang dengan menghubungi Kru Trans7. Pada tanggal 12 September 2011, Kepala Seksi Kerjasama Kelembagaan, Drs. Yusuf Pardiono, dan Fungsional Penyuluh Sosial, Irwan Hermansyah, S.ST, melakukan penjajagan ke tempat tersebut. Rumah Endang berjarak sekitar 13 km dari Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut dan tidak dapat dijangkau menggunakan kendaraan roda empat. Untuk mencapai lokasi tersebut petugas memanfaatkan jasa tukang ojek.
Dalam penjajagan petugas mencari informasi tentang Identitas, Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Kehidupan, Hambatan/permasalahan, Potensi yang dapat dikembangkan, Harapan Masa Depan.Dari hasil kegiatan penjajagan tersebut, potensi yang dimiliki Endang cukup baik yaitu dapat memperbaiki radio dan membuat layang-layang hanya faktor ekonomi yang tidak mendukung untuk mengembangkan potensinya. Keinginannya untuk mempelajari Braille pun cukup tinggi karena ia ingin menjadi guru ngaji yang memerlukan kemampuan membaca huruf Braille.
2. Tukang Batu Tunanetra
Suamiku mengenal beliau sejak remaja. Kekagumannya pada sosok Pak Rono tidak hanya sebatas perjuangannya dalam menghadapi cobaan hidup, tetapi juga pada keshalehannya. Walaupun ia tak dapat melihat dan bekerja keras sepanjang hari, tetapi sholatnya tepat waktu dan selalu berjamaah di masjid.
Kemarin aku ikut bersilaturahmi ke tempat bekerja Pak Rono. “Pabrik batu” miliknya ada di sudut jalan mengarah ke jalan raya. Ada rasa iba melihat kondisi yang tersaji di depan mataku. Kasihan melihat seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi, berjuang untuk terus hidup dan menghidupi keluarganya. Ditambah lagi dengan kekurangan pada fisiknya. Hampir menangis aku, ketika memperhatikan ia sangat berusaha menajamkan pendengarannya untuk dapat mengenali kami yang datang.
Pak Rono terlihat senang dikunjungi. Senyum pun tak pernah henti terkembang di wajah penuh peluh itu. Doa-doa terbaik terus ia panjatkan untuk kami. Nasihat-nasihat dan kata pujian kepada Sang Pencipta, serasa tak cukup ia sampaikan dalam perbincangan di pagi hari itu.
Sekarang aku tau rahasianya bertahan hidup. Rasa syukurnya melebihi segala permasalahan hidupnya. Rasa syukur itulah yang membuat hidupnya penuh berkah. Ketika indera penglihatannya diambil oleh Yang Memiliki, ia malah bersyukur, sekarang bisa bekerja yang bebas waktunya. Bisa solat di masjid berjamaah kapanpun ia mau. Ketika penantian 30 tahun mendambakan keturunan belum diijabah, ia masih berprasangka baik bahwa Allah masih mempersiapkan dirinya dan istri untuk menjadi sepasang orang tua. Ketika harta dan gemerlap dunia tak bersahabat dengannya, ia asyik berbagi dengan anak-anak asuh yatim piatu di sekitarnya.
Ia mengatakan bahwa Allah Maha Kaya. Kalau kita bekerja Lillahi ta’ala untuk beribadah, nanti Allah yang akan memberi rizki. “Ya, seperti hari ini, pasti ada saja rezeki yang Allah bagi saya” begitu katanya. Uang sedekah orang-orang kepada dirinya, tak dimakan seorang diri. Ia masih memikirkan untuk berbagi, bersedekah, beramal untuk bekalnya kelak di akherat. Karenanya, dia menyantuni anak-anak asuh. Mungkin Allah belum menjadikannya seorang ayah dari anak yang dilahirkan oleh istri beliau. Tapi, kalau tidak salah dengar, anak asuhnya ada 30 orang. Jumlahnya genap seperti tahun-tahun yang dilewatinya untuk menantikan keturunan. *Mashaallaah*
Mengenal mahluk ciptaan Allah ini membuat diriku serasa kerdil. Seperti tak tau bersyukur diri ini, mengingat masih sering mengeluh tentang dunia. Jadi malu hati ini, yang sering menganggap Allah tidak adil membagikan anak keturunan. Tertampar habis-habisan rasanya bila mengingat diri sering disibukan oleh dunia sehingga lalai dalam mengerjakan solat. Padahal fisik sempurna, usia belum menua, ilmu berlimpah. Mengapa amalku belum seberapa dibandingkan Pak Rono? Apa yang salah?…
3. Petani Tuna Netra
Apa yang dilakukan Arif bukan tanpa tantangan. Saat mengembalakan ternak. warga Lingkungan Pakkawarue, Kelurahan Tanete, Kecamatan Cina, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan ini harus berjuang sangat keras. Pasalnya, selain harus menggembala sapinya ke kebun milik warga, setiap hari ia juga harus memotong rumput untuk pakan. Belum lagi, ketika sapinya mengamuk meski tali kekang sudah ada digenggamannya. Jika demikian adanya, kesabaran dan keteguhan Arif yang mengalahkan segala kesulitan itu.
Arif mengaku mengalami kebutaan sejak ia masih berusia tiga tahun, akibat penyakit katarak. Pria ini pun hingga sekarang tak mengetahui siapa orangtua yang melahirkannya, karena ia tinggal di panti asuhan kecil. "Saya besar di panti asuhan jadi saya tidak tahu siapa orangtuaku karena katanya saya ini anak dibuang," ujar Muhammad Arif mengisahkan perjalanan hidupnya, Senin (2/7/2012).
Awalnya penyandang tuna netra ini bukanlah seorang petani, dulunya ia bekerja sebagai tukang pijat keliling di Kota Watampone Kabupaten Bone. Namun karena kerasnya persaingan membuat Arif memilih mencari usaha lain. "Sampai sekarang saya pintar urut orang, apalagi kalau cuma sakit rematikInsya Allah bisa saya sembuhkan. Saya berhenti karena di kota sudah banyak panti pijit dan salon plus-plus," ujar Arif kembali sambil tertawa.
Kini Arif lebih bersyukur, karena tidak lagi mengandalkan bantuan orang lain. Arif hanya berharap agar segera memiliki keturunan, sebab sejak 10 tahun pernikahannya, ia belum dikaruniai momongan. Saat Kompas berpamitan untuk pulang, ia sempat berpesan agar menghilangkan rasa putus asa dalam hidup.
Arif mencontohkan dirinya yang buta namun bisa sukses dan bahagia di dalam rumah tangga bersama sang isteri. "Dalam hidup tidak usah banyak berpikir kalau kita kekurangan, jalani saja apa adanya, dan jangan terlalu banyak berharap sama bantuan orang. Kalau hati kita yakin untuk dapat mengerjakan pekerjaan itu maka kerjakan Insya Allah pasti selesai," kata Muhammad Arif.
- 10 Orang yang tidak pernah tidur
- 10 Ide kreatif dari sampah jadi rupiah
- Hal yang salah saat anda berusaha mengatasi bau mulut
4. Penjual sapu keliling Tuna Netra
Si Buta dari Gua Hantu berjalan di hutan atau pedesaan. Sementara Bapak ini berjalan di pinggir jalan raya di tengah Hutan beton & gedung. Resikonya lebih besar. Ada kendaraan lalu lalang yang membahayakannya.
Yang membuatku lebih kagum, Bapak tuna netra ini menyunggi barang dagangannya berupa keset dan sapu di atas kepalanya. Persis seperti ibu-ibu penjual lupis & sate yang keliling di desaku. Iya, di atas kepalanya.
Aku sulit membayangkan. Konsentrasi untuk menjaga keseimbangan benda di atas kepalanya, menggerakkan tongkat bantunya, dan memprediksi jalan di depannya. Ia melakukkannya dalam satu waktu sekaligus.
Aku ingin menangis. Sungguh. Penyebabnya bukan karena aku kasihan dengan Bapak hebat ini. Namun aku merasa betapa aku selama ini kurang mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Tuhan padaku.
Dititipi mata yang bisa melihat, tapi sering digunakan untuk maksiat. Jarang menggunakannya untuk membaca ayat-ayat Nya. Ah, Tuhan benar-benar Ar-Rahman, Maha Pengasih.
5. Penjual Kemoceng Tuna Netra
Pak Suwaji namanya. Usianya 55 tahun, tinggal di Sewon, Bantul. Dengan kondisi fisiknya yang tidak bisa melihat, setiap hari ia memanggul keset dan kemoceng berjalan kaki menyusuri jalanan kota Jogja. Itu sudah dilakukannya bertahun-tahun untuk menghidupi keenam anaknya. Saat ditanya alasan mengapa ia tetap keluar rumah untuk berdagang, ia menjawab sederhana, "Saya ndak mau menyusahkan orang lain, mas."
Yang membuat saya kagum, Pak Suwaji ini selalu rutin shalat Dhuhur di masjid kampus shalat Ashar di masjid Mardiyah dekat RSUP dr. Sardjito. Kondisinya yang kehilangan penglihatan tak menghalanginya untuk tertib melangkahkan kaki ke masjid saat mendengar kumandang adzan. Masya Allah.
Bagi saya, orang-orang seperti pak Suwaji ini adalah orang mulia. Dengan keterbatasan fisiknya, ia tidak menistakan dirinya dengan meminta-minta. Apalagi ia selalu rajin shalat ke masjid menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim, meski harus meraba-raba jalan yang ia lalui.
Rasulullah bersabda:
“Sungguh salah seorang diantara kalian pergi mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu di punggungnya, itu lebih baik baginya dari pada ia meminta-minta kepada orang lain, baik orang lain itu memberi ataupun tidak memberinya.” ~HR Al Bukhari
Jika Pak Suwaji yang tunanetra saja rajin shalat jama'ah ke masjid dan semangat bekerja, lantas bagaimana dengan Anda?
6. Tukang Koran Tuna Netra
Tapi beliau, hanya seorang lelaki santun penjual koran. Beliau memotivasi kami dengan cerita hidupnya yang mungkin belum menjadi jalan emas, menceritakan impian hidupnya yang mungkin tak bercita sampai satu juta dolar penghasilannya, namun beliau punya klinik. Sama-sama memberi manfaat bagi pasiennya.
Oke. Pagi itu tanggal 22 Agustus 2013. Aku dan Adit memang berencana menemui beliau. Kami menemuinya di pinggir Jalan Pramuka kota Bandarlampung, agak masuk kedalam persimpangan lampu merah. Target kami memang si Bapak, karena si Bapak ini menginspirasi. Beliau hanya penjual koran. Namun.. kita bisa lihat perbedaan si Bapak. Di jalan Pramuka di pagi hari memang berhamburan tukang koran, dari yang kanak-kanak sampai yang bapak-bapak. Yang berbeda adalah Bapak ini Tuna Netra. Ya, penjual koran yang hanya mengenal satu warna—hitam.
Aku menemui beliau pagi itu, terlihat beliau sedang terduduk di pinggir jalan, mungkin hendak istirahat dari sengatan sinar matahari yang kian meninggi, saat itu pukul 10 pagi. Padahal aku selalu melihatnya saat melintas di jalan itu tiap pagi, beliau hanya berdiri, memakai rompi orange, dengan topi yang sedikit menutupi matanya, dan menunduk, kemudian ditangan kirinya ada koran harian yang menampilkan berita utama hari itu, tak lupa ditangan kanannya terdapat tongkat yang selalu menemaninya.
Sebelum kami mendekatinya, beliau bangun, berjalan perlahan-lahan. “Laah kok pergi Dit, bapaknya?”
Setelah parkir, Adit memanggil si bapak sembari bilang mau beli koran. Diberikannya koran harian itu. Adit memberikan selembar uang kertas bewarna hijau.
“Makasih Mas, ini uangnya susuk gak ya?” tanya si Bapak sambil meraba sisi uang kertas.
“Enggak Pak, itu uang pas pak…” tutur Adit.
“Iya Pak, itu uang pas..” tuturku menambahi
“Oo yasudah. Alhamdulillah. Semoga mas sama mbaknya sukses ya… sehat terus.. murah rezeki.. Aamiin,” tutur si bapak penuh doa. Kemudian beranjak duduk di tangga sebuah toko yang sedang tutup. Saat itulah kami mulai mendekati si bapak. Berbicara perlahan dan ternyata respon si Bapak sangat baik, menjawab yang kami tanyakan dengan sangat lengkap.
Kebetulan saat itu beliau hendak beristirahat, duduk didepan ruko yang sedang tutup. Kami mendekati beliau. Adit yang mulai bertanya. Namanya Bapak Indra Gunawan.
“Saya anak pertama dari 10 bersaudara mas, tapi Alhamdulillah hanya saya yang cacat.. sejak kecil saya tinggal di Panti Sosial, disana diajarkan segala hal mulai dari mengurusi bayi, menyapu, mencuci, membaca hurup braile, memasak, sampai cara menghidupkan mesin cuci. Kata pengajar disana, siapa tau kami kelak jadi orang kaya, jadi gak bingung hidupin mesin cuci. Hehe..” tutur pak Indra panjang lebar sambil tersenyum simpul.
Pak Indra mulai jadi penjual koran sejak januari 2013 ini. Awalnya dirinya pengangguran. Meskipun sudah lulus dari pendidikan di Panti Sosial khusus penyandang tuna netra. Setiap setahun 2x beliau dan penyandang Tuna netra yang lain diberi santunan uang dan sembako oleh perusahaan koran di Lampung. Terbitlah keinginan Pak Indra untuk membuat usul pada sang pemilik perusahaan koran tersebut, untuk memberikan dirinya pekerjaan. Ia ingin sekali bermanfaat, awalnya tak diizinkan, karena khawatir terjadi apa-apa, namun akhirnya pak Indra diizinkan untuk menjadi salah satu penjual koran, dengan satu syarat… jangan jualan koran di persimpangan lampu merah yang rawan kecelakaan.
Setiap pagi distributor koran datang kerumahnya, memberikan ia segepok koran. Pak Indra mendapat untung 900 perak dari koran yang ia jual. Sehari biasanya 20 eksemplar koran yang terjual. “Alhamdulillah, rezeki Alloh selalu datang disaat yang gak terduga, ada saja mas, mbak, pembeli yang beli koran dengan uang lebih, membayar lebih tanpa mengharap kembalian, kemudian langsung pergi. Tapi ada juga yang gak membayar, atau membayar korannya kurang. Mungkin mereka tahu saya buta ya.. padahal saya bisa meraba uang yang mereka berikan lewal blind code ini..” ungkap Pak Indra lagi.
“Maaf Pak..” tutur Adit hati-hati. “Bapak sudah berkeluarga?”
“Ooh sudah mas, istri saya itu… jualan koran juga, di ujung sana. Istri saya juga buta. Mas sama mbak suka lihat gak ada perempuan buta sama anaknya jual koran disana? Itu istri dan anak saya, mas..” jawab pak Indra lugas. “Alhamdulillah anak saya normal mas, gak buta kayak orangtuanya. Makanya sejak sekarang saya selalu memberitahu dia untuk maklum, karena memang orangtuanya buta, supaya sejak sekarang anak saya ngerti sama keadaan orangtuanya..”
7. Teknisi Komputer Tuna Netra
Tapi selalu ada hikmah di balik setiap penciptanNya. Meski ditakdirkan buta matanya, tapi Sugiyanto seperti dianugerahi Mata Tuhan yang menuntunnya menjalani kehidupannya.
Tentu tidak serta merta Mata Tuhan itu diperolehnya. Kerja keras, semangat belajar, serta doa dan tawakkal yang konsisten dijalaninya seakan membuat Sang Penguasa memurahkan pencahayaan batiniah untuknya.
Betapa tidak, Sugiyanto mampu menjalankan pekerjaan yang rasanya tidak masuk akal bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti dia. Bayangkan, dengan Mata Tuhannya, dia mampu memperbaiki perangkat barang-barang elektronik, tak terkecuali dengan perangkat komputer.
Tanganya seakan punya "mata". Anggota tubuh itu menjadi andalannya setiap kali memperbaiki peralatan elek-tronik yang rusak. Hanya cukup mera-banya saja, Sugiyanto sudah mampu mendiagnosa kerusakan dan kemudian mem-perbaikinya seperti tukang reparasi lainnya yang memiliki penglihatan sempurna.
Sugiyanto memang termasuk tuna netra yang unggul. Dia menguasai berbagai ilmu. Tak hanya memiliki kepiawaian memijat seperti tuna netra kebanyakan, dia juga mampu menyelesaikan kuliahnya di IKIP PGRI Wates dengan jurusan Bimbingan Konseling pada 2010.
8. Montir Tuna Netra
Romi mengaku telah 13 tahun bekerja sebagai montir. Bahkan dirinyalah satu-satunya montir sekaligus pemilik bengkel di jalan yang menghubungkan Payakumbuh dengan Pekanbaru, Riau ini. Menurut pria berusia 27 tahun, ia kehilangan penglihatan karena kecelakaan. Bola mata kanannya tertusuk ranting kayu. Buta di mata kanan itu segera merembet ke mata kiri.
Sebenarnya dulu banyak yang meragukan kemampuan Romi. Namun berkat kegigihan, ia membuktikan bisa membuat pelanggan bengkelnya puas. Tidak hanya itu, semangat hidupnya untuk mandiri membuat orang kian menghargainya. Pemuda ini yakin pekerjaannya jauh lebih terhormat daripada meminta belas kasihan orang.
9. Penambal Ban Tuna Netra
Inilah yang saya alami beberapa waktu yang lalu, jam telah menunjukan pukul 8 malam saat motor yang dikendari kakak saya tiba-tiba ban nya terasa bocor. Kami berhenti sesaat untuk memeriksa keadaan ban motor tersebut, setelah dilihat benar saja ban tersebut bocor parah banget. Setelah berpikir dimana kami bisa menemukan tukang tambal ban didaerah itu akhirnya kami memutuskan mendorong motor tersebut sampai ketempat tambal ban.
Selang beberapa saat kemudian kami melihat tulisan dari papan yang berbunyi “tambal ban motor dan mobil” Ternyata sebelum kami datang sudah ada orang yang juga sedang menambal ban motornya. Kami terpaksa menunggu beberapa menit kemudian, setelah saya perhatikan ada keanehan dalam diri penambal ban tersebut.
Saya lihat ia selalu meraba-raba dahulu alat yang ia gunakan, saya terus memperhatikan si bapak itu. Setelah motor orang itu sudah selesai di tambal bannya saya melihat ia memberikan uang bayarannya sambil berkata ini pak 8 ribu ya. Sementara bapak penambal ban hanya mengangguk.
Giliran ban motor saya yang ia periksa, alangkah terkejutnya saya ternyata si bapak penambal ban itu matanya sangat tak terlihat. Dengan cekatan ia mencari dibagian mana ban yang bocor walau ia harus meraba-raba dengan hati-hati sekali. Seorang ibu penjual makanan di dekat situ berkata kepada saya bahwa bapak penambal ban itu seorang tuna netra.
Iseng-iseng saya bertanya “Namanya siapa pak?” dalam bahasa jawa ia menjawab “kulo Sugiyat”
“Usianya berapa pak?” tanya saya lagi “kulo lahir 1950″
“Sudah lama pak jadi penambal ban gini?” tanya saya sambil memperhatikan pak Sugiyat memeriksa ban tersebut ”Dari muda mbak.”
“Anaknya berapa pak?” tanya saya lagi “Anak 3 sudah punya keluarga semua, yang satu suami anak saya gak ada, makanya sekarang anak dan cucu tinggal bareng saya, kalau istri saya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu.”
“Bapak gak berhenti bekerja pak?” ucap saya “wah kalau saya berhenti bekerja bagaimana makan anak dan cucu yang tinggal dengan saya mbak. Kalau siang saya tambal ban dirumah, kalau malam baru saya kepingir jalan begini.” ucapnya lagi sambil tak henti ia mencari letak bocor ban motor kami.
Obrolan kami terhenti, karena pak Sugiyat berkata bahwa ia tak menemukan letak bannya yang bocor. Akhirnya ban tersebut dipasang kembali dan dipompanya. Seteleh selesai ia memeriksanya kembali dan meyakinkan bahwa ban tersebut benar tak bocor mungkin karena pentilnya tak dipasang dengan benar hingga angin didalam ban sampai habis keluar.
“Mbak, bayar tambah angin saja, 2000 rupiah soalnya ban nya gak bocor” ucap pak Sugiyat.
Saya mengeluarkan uang (maaf disensor) kepada pak Sugiyat, ” Ini ***** buat bapak”
“Mbak kalau segitu kebanyakan.” ucap pak Sugiyat sambil mengembalikan uang yang saya berikan. “Saya tidak bisa menerima uang ini karena belas kasihan saya sebagai seorang tuna netra, mbak bayar 2000 saja ya.”
10. Penjual pulsa Tuna Netra
Ditemui di kios yang diberi nama "Mutiara Alam", Ismail yang awalnya pedagang bahan campuran di rumah orang tuanya banting setir menjadi penjual pulsa, dikarenakan keuntungan yang didapat dari penjual bahan campuran tidak begitu menguntungkan. Dengan bermodal telepon genggam bekas pemberian saudaranya, Ismail membuka usaha penjual pulsa.
Dari modal nekat dan percaya diri itulah, Ismail memberanikan diri dengan meminta kepada seorang sepupunya bernama Andi Ita untuk diajarkan berjualan pulsa khususnya pulsa elektrik yang mengenakan ponsel. Hanya butuh satu bulan, Ismail dapat menguasai seluruh tombol-tombol yang ada ponsel. Dari situlah, Ismail yang bermodal Rp.1.000.000 akhirnya dapat menjual pulsa elektrik.
"Modal awalku seratus ribu rupiah khusus menjual pulsa elektrik, perputarannya cepat dan menguntungkan saya akhirnya memutuskan untuk berhenti berjualan bahan campuran," kata Ismail, Rabu (04/04/2012).
Ismail melanjutkan, untuk soal hitung menghitung uang hasil jualannya, terkadang ia masih membutuhkan bantuan saudara atau orang tuanya. Setelah berjalan empat tahun dengan keuntungan yang didapat Ismail bisa mencapai Rp.2.000.000 lebih perbulannya itu, akhirnya Ismail membangun rumah yang disertai kios. Karena usahanya cukup berhasil, Ismail kemudian menambah jualannya dengan menjual berbagai macam produk pulsa voucher dan nomor ponsel.
Selama menjalani usahanya itu, Ismail mengaku tidak pernah melakukan kesalahan dalam mengirimkan pulsa ke nomor pelanggannya. Semua yang dituju selalu berhasil dan tidak pernah mendapat keluhan dari pelanggannya.
source:
http://abiyoso.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=46
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/11/penambal-ban-itu-seorang-tuna-netra-453423.html
http://news.liputan6.com/read/140416/tunanetra-mampu-memperbaiki-sepeda-motor
http://yafi20.blogspot.com/2012/05/kisah-penderita-tuna-netra-beprofesi.html
http://sosok.kompasiana.com/2013/11/16/-dosen-tuna-netra-kami-611348.html
http://permatakebaikan.blogspot.com/2014/06/penjual-kemoceng-tunanetra.html
http://kangridwan.wordpress.com/2012/01/13/tuna-netra-penjual-sapu-keliling/
http://investigasiberita.blogspot.com/2012/07/pria-tuna-netra-sukses-sebagai-petani.html#.VEbMfVcqzvs
http://www.anggianunik.com/belajar-dari-tukang-batu-tuna-netra/
http://pontianak.tribunnews.com/2012/04/05/hebat-tuna-netra-jualan-pulsa
bila mana terdapat kesalahan, mohon diralat, Terima kasih.