7 kota yang hilang di Indonesia
Indonesia kerap kali dilanda oleh bencana alam, mulai dari banjir, gunung meletus, gempa bumi hingga tsunami. Berbagai bencana alam yang menimpa Indonesia menjadi bagian sejarah perkembangan negara kita tercinta ini. Banyak kehancuran yang disebabkan oleh bencana bencana yang terjadi di Indonesia ini dan mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan. Salah satu dari akibat kehancuran yang disebabkan oleh bencana alam tersebut adalah hilangnya beberapa kota kota penuh sejarah yang ada di Indonesia, kota atau desa yang hilang tersebut ada yang disebabakan oleh meletusnya gunung berapi, tsunami, hingga akibat peperangan yang berkepanjangan.
Berikut ini 7 kota yang hilang di Indonesia. 7 Desa yang hilang di Indonesia
Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang bermaksiat, yang oleh Allah swt dikubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa.
Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu. Siapa yang mampu memindahkan puncak gunung itu ke suatu tempat untuk mengubur satu desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa?
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955.
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah utaranya. Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telingan tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal.
Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati.
Liyangan adalah kota yang hilang karena terkubur. Demikian ucapan salah seorang wisatawan dan peneliti kepurbakalaan dari Amerika Serikat yang pernah berkunjung di situs Liyangan, yang ditemukan secara tak sengaja oleh penambang pasir di dusun Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung.
Liyangan pada zaman dahulu diperkirakan merupakan salah satu kompleks perdusunan yang terkubur akibat bencana erupsi Sindoro. Belum diketahui pada abad berapa Liyangan ini terkubur oleh lahar dari Gunung Sindoro. Menurut seorang peneliti dari Belanda bernama Bemmelen (1970), antara tahun 1600-1671 telah terjadi bencana hebat berupa meletusnya Gunung Sindoro sebanyak tiga kali. Jadi kalau benar berita tentang erupsi Gunung Sindoro ini, berarti Liyangan adalah saksi bisu bagaimana Sindoro meluluhlantakkan daerah sekitarnya.
Sekitar tahun 2008 beberapa penambang pasir menemukan beberapa temuan, seperti dua candi Ganesha, gerabah, talut (semacam fondasi dari bebatuan), alat penumbuk rempah-rempah dan beberapa yoni.
Lalu pada tahun 2009 ditemukan kembali beberapa bangunan. Berdasarkan gambaran hasil survei, Liyangan adalah salah satu kompleks situs permukiman, situs ritual dan pertanian. Dari data yang ada dan juga beberapa hasil penemuan, Liyangan ini merupakan satu perdusunan pada masa Kerajaan Mataram kuno.
Kerjaan Tambora adalah sebuah desa yang hilang di pulau Sumbawa yang terkubur oleh abu vulkanik dan aliran piroklastik akibat dari letusan gunung Tambora tahun 1815. Desa ini memiliki sekitar 10.000 penduduk. Peneliti menggali kembali situs ini dan menemukan jambangan keramik, mangkuk perunggu dan botol gelas, dan rumah dan penduduk desa terkubur oleh abu yang mirip dengan Pompeii. Peneliti percaya bahasa dan kebudayaan telah hilang. Kebudayaan tersebut dikunjungi oleh pengelana barat sebelum kehancurannya. Dipercaya kebudayaan ini telah berdagang dengan orang di Indochina, tembikar mereka dapat ditemukan di Vietnam, dan bahasa mereka dipercaya merupakan sebuah bahasa Papua dan bukan bahasa Austronesia.
4. Kerajaan Sugeni
Kerajaan Tambora dan Kerajaan Sugeni berdiri sekitar 1678 - 1789 . Tak ada sejarah kapan pastinya dua kerajaan ini berdiri. Dua kerajaan ini terletak di bagian utara dan selatan kaki gunung tambora . Kedua kerajaan ini selalu berperang untuk memperbutkan wilayah barat tambora yang ketika itu masih wilayah netral . Dan Ketika mereka berperang pada saat itulah Gunung Tambora meletus , hampir di katakan kedua kerajaan ini hampir tak ada yang tersisa karena terkena awan panas , dan menimbun kedua kerajaan ini sehingga kedalaman 8 - 10 meter dibawah abu vulkanik dan tak ada 1 pun penduduk yg selamat dari bencana alam ini.
Pada musim panas tahun 2004, tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh Haraldur Sigurdsson, memulai sebuah penggalian arkeologi di gunung Tambora. Setelah enam minggu, tim tersebut menggali bukti adanya kebudayaan yang hilang yang musnah karena letusan gunung Tambora. Situs tersebut terletak 25 km sebelah barat kaldera, di dalam hutam, 5 km dari pantai. Tim tersebut harus melewati endapan batu apung vulkanik dan abu dengan tebal 3 m.
Tim tersebut menggunakan radar penembus tanah untuk mencari lokasi rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali kembali rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa, dan juga mangkuk perunggu, peralatan besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi artifak memiliki kesamaan dengan artifak dari Vietnam dan Kamboja. Uji coba dilakukan menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari pensil arang yang dibentuk oleh panas magma. Semua orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti saat mereka berada tahun 1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai Pompeii dari timur. Berdasarkan artifak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim menyatakan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia Timur untuk madu, kuda, kayu sepang (caesalpinia sappan), memproduksi dye merah, dan cendana yang digunakan untuk dupa dan pengobatan. Daerah ini diketahui produktif dalam bidang pertanian.
Penemuan arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan tahun 1815. Sebutan Kerajaan Tambora yang hilang disebut oleh media. Dengan penemuan ini, Sigurdsson bermaksud untuk kembali ke Tambora tahun 2007 untuk mencari sisa desa, dan berharap dapat menemukan istana.
Trowulan adalah satu kawasan di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, tempat ditemukannya banyak peninggalan kuno. Diduga kuat, situs ini adalah salah satu bekas ibukota kerajaan Majapahit.
Kitab Negarakertagama menyebutkan deskripsi puitis mengenai keraton Majapahit dan lingkungan sekitarnya, tetapi penjelasannya hanya terbatas pada perihal upacara kerajaan dan keagamaan. Detil keterangannya tidak jelas, beberapa ahli arkeologi yang berusaha memetakan ibu kota kerajaan ini muncul dengan hasil yang berbeda-beda.
Penelitian dan penggalian di Trowulan pada masa lampau dipusatkan pada peninggalan monumental berupa candi, makam, dan petirtaan (pemandian). Belakangan ini penggalian arkeologi telah menemukan beberapa peninggalan aktivitas industri, perdagangan, dan keagamaan, serta kawasan permukiman dan sistem pasokan air bersih. Semuanya ini merupakan bukti bahwa daerah ini merupakan kawasan permukiman padat pada abad ke-14 dan ke-15.
Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur masih menyimpan begitu banyak misteri mengenai peradaban Kerajaan Majapahit. Para ahli arkeologi dan sejarah memperkirakan peradaban kerajaan berkembang sekitar 200 tahun, mulai berdiri sejak 1293 hingga runtuh sekitar tahun 1521 M.
Bagai mencari kota yang hilang, penelitian dan penggalian arkeologis terus dilakukan hingga saat ini. Menurut Mundardjito, dewan pakar National Geographic Indonesia, Kamboja memiliki peninggalan peradaban berupa Angkor Wat, Peru menyimpan Machu Picchu, Italia dengan reruntuhan Pompeii, dan Yunani terdapat Acropolis di Athena, sementara Indonesia hanya punya Trowulan yang sampai sekarang pun belum tergali sempurna.
Penentuan batas kota dan tata kota pun masih menjadi misteri. Apakah mereka menentukan batas dengan menggunakan konsep astronomi seperti pelaut. Hal ini masih belum dipastikan dan menunggu penelitian lebih lanjut.
Serempah, desa di kaki bukit itu kini hanya tinggal kenangan. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah telah melenyapkannya dari peta bumi.
Longsoran itu membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter. Bila dilihat dari atas bukit, persis menyerupai lokasi meteor jatuh dari langit. Tidak hanya rumah, di dasar tanah bekas runtuhnya Serempah terdapat 11 warga tertimbun.
Hilangnya Desa Sendi dari Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, melalui serentetan peristiwa bersejarah yang cukup panjang. Penduduk desa tersebut banyak eksodus di kala itu.
Kepala Desa Pacet, Yadi Mustofa mengaku mendapat cerita bahwa sejak pemerintahan kolonial Belanda terhitung tiga kali penduduk asli Sendi malakukan pengungsian besar-besaran.
Eksodus pertama terjadi tahun 1931-1932. Yadi memperkirakan penduduk Desa Sendi saat itu 40-60 kepala keluarga. Pindahnya penduduk Sendi menyusul adanya transaksi tukar-menukar dan pemberian ganti rugi tanah penduduk oleh Boschwezen, intansi Perhutani zaman kolonial Belanda.
Transaksi itu tertuang dalam surat Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No 1-1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No 3-1932 tanggal 10 Oktober 1932. Saat itu terjadi pembebasan tanah penduduk Desa Sendi oleh Pemerintah Belanda seluas 762,9 hektare.
Setelah penjajah Belanda meninggalkan tanah air, lanjut Yadi, penduduk Desa Sendi sempat kembali ke kampung halamannya. Namun, mereka kembali eksodus saat penjajahan Jepang tahun 1942.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945, kata Yadi, Desa Sendi menjadi basis pasukan gerilya Macan Putih. Peradaban di desa ini betul-betul musnah akibat agresi militer Belanda II tahun 1948. Tentara penjajah membumi hanguskan Sendi yang menjadi tempat persembunyian para gerilyawan.
Hilangnya Desa Sendi setelah agresi militer II, wilayah tersebut tak berpenghuni karena penduduk aslinya menetap di desa sekitar, seperti Desa Sajen, Pacet, dan Petak.
Setelah puluhan tahun berlalu, saat ini keturunan penduduk asli Sendi telah beranak-pinak dan tersebar di Desa Pacet, Sajen, Padusan, dan Petak. Menurut dia, keturunan penduduk Sendi saat ini mencapai 236 KK. Hanya saja, yang menetap di wilayah eks Desa Sendi sekitar 50 KK atau 86 jiwa. Mayoritas wilayah Sendi telah dikuasai oleh Perhutani. Dulu ceritanya pernah ada Desa Sendi. Dalam perjalanan sejarah pasca kemerdekaan, desa itu hilang. Sendi terlewakan dari pendataan pemerintah karena informasinya memang sudah tak ada penduduknya.
sources:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tambora_(kebudayaan_yang_hilang)
https://www.kaskus.co.id/thread/512738b3e974b4a87a00000c/hot-info-kota2-atau-desa2-yang-hilang-di-indonesia-secara-misterius/
http://www.bukutahu.com/2016/11/7-kota-emas-yang-hilang.html
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3489027/desa-di-mojokerto-yang-hilang-dibom-hingga-warganya-jadi-romusha/komentar
https://www.storial.co/book/malabahain/1
http://sains.kompas.com/read/2011/12/21/14503695/Liyangan..Kota.yang.Hilang.karena.Letusan.Sindoro
https://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/desa-yang-hilang-kisah-nyata-sodom-gomorah-di-banjarnegara.htm#.WmhXJryWa00
http://jogja.tribunnews.com/2013/07/08/serempah-kampung-yang-hilang-akibat-gempa