5 Kisah pendaki gunung penyandang disabilitas di Indonesia
Kegiatan mendaki gunung tidak hanya bisa dilakukan orang orang normal, tapi juga bisa dilakukan oleh para kaum difabel atau disabilitas. Mereka yang memiliki kondisi tidak sempurna namun dibalik keurangannya, mereka dapat menunjukan satu bukti bahwa mereka memiliki kemampuan yang bahkan kita tidak bisa melakukannya. Seperti beberapa kisah para penyandang disabilitas berikut ini.
1. Sabar Gorky
Sabar Gorky |
Detik - detik mengharukan seorang pendaki tunadaksa dari Indonesia bernama Sabar Gorky yang akhirnya mampu menjejakkan kaki di puncak Gunung Elbrus 5642 M dpl, Rusia. Saat itu ia bersama tim sampai di puncak yang merupakan salah satu anggota dari 7 atap dunia ini pada pukul 1645 waktu setempat atau 1945 WIB tepat pada tanggal 17 Agustus 2011. Sebuah momen yang sangat langka karena bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Semoga spiritnya menular ke seantero nusantara bahwa seorang pendaki tunadaksa mampu berkiprah dalam pencapaian prestasi kelas dunia.
Pendakian Cartenz Pyramid |
Pada tahun 1996, Sabar mengalami kecelakaan yang membuat kakinya sebelah kanan terpaksa harus di amputasi. Kenyataan ini ternyata tidak membuat dia memutuskan untuk berhenti dari hobinya, yaitu panjat tebing. Dengan keadaan yang serba terbatas dia juga masih tetap menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya. Sebelum mengalami kecelakaan dia telah aktif menggeluti dunia petualangan. Sederetan gunung tinggi di Indonesia seperti Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, pernah didakinya. Selain mendaki gunung, ia juga aktif mengikuti perlombaan balap sepeda, dan panjat dinding. Ia bahkan pernah memenangkan medali emas kejuaraan panjat dinding Asia pada tahun 2009.
2. Irfan Ramadhani
Irfan Ramadhani di Danau Ranu Kumbolo |
Pada waktu bersamaan ia juga diputus cinta oleh sang kekasih. Namun pria ceria ini tak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Irfan kembali menjadi petualang alam meski di tengah keterbatasannya.
Sepasang tongkat itu akhirnya menemani Irfan mendaki Gunung Semeru, Jawa Timur dan Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Tak hanya bagi Irfan, dua gunung itu memang diidamkan para pendaki. Gunung Semeru merupakan gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa dan Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi kedua di Indonesia. Tak ada yang menyangkal, kedua gunung itu menyuguhkan karya indah Sang Maha Pencipta.
Menjajal medan pegunungan dengan tongkat untuk menopang kaki yang berjalan tentunya berbeda. Gunung Semeru berketinggian 3.676 mdpl adalah gunung pertama yang ia daki dengan tongkat itu. Tiba di kaki Gunung Semeru, Irfan terdiam sejenak mengumpulkan kembali tekadnya. Mahameru yang menjulang tinggi seakan terus memanggilnya dan menambah energi semangat itu.
Berada di kaki Gunung Semeru sudah membuatnya tertegun. Irfan tak menyangka bisa berada di sana yang sebelumnya hanya ada dalam lamunan dan mimpi dalam tidurnya. Sembari membayangkan Mahameru dan indahnya danau Ranu Kumbolo, Irfan terus meyakinkan diri dalam hati. Kedua tongkat itu dijepit kencang pada ketiaknya.
Irfan Ramadhani digendong rekannya |
Tak selalu mengapit tongkatnya, Irfan juga harus mengesot ketika mendapati medan yang menanjak atau curam. Ketika jalan menurun, Irfan harus meluncur dengan hati-hati. Bahkan ia harus berjalan miring seperti kepiting ketika melewati jalur yang sempit dan di sisi kiri atau kanannya terdapat jurang.
"Kalau dulu sebelum saya memakai tongkat, saya bisa berlari-lari saat mendaki gunung. Tapi ketika dengan kedua tongkat, saya harus ekstra hati-hati," katanya.
Di sana, Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Gunadarma itu ditemani sahabatnya Fernando Halim serta teman-teman sesama Mapala setempat, Sonic, Dagrombes, dan Peot. Sepanjang jalan ia bersyukur karena banyak bertemu pendaki lain yang ikut membantu. Irfan menceritakan, hampir setiap pendaki berjabat tangan padanya dan menepuk bahunya untuk memberikan semangat untuk bisa sampai atas. Cerita Irfan pada pendakian di Rinjani yang baru saja dilakukannya bulan Mei 2013 ini juga tak kalah menarik. Pada gunung yang memiliki ketinggian 3.726 mdpl itu, Irfan mencapai Danau Sagara Anak melalui jalur Torean. Jalur yang cukup ekstrem baginya membuat pendakian Irfan yang ditemani Salmon dan Sevis dari Grahapala Rinjani memakan waktu 12 hari untuk naik dan turun gunung Rinjani.
3. Usep Rohmat
Useo Rohmat di Hitam Putih |
Dulu Usep sempat tidak mau sekolah karena merasa malu. Orang-orang sering pula menghinanya. Setelah melihat tayangan di televisi tentang orang difabel, Usep semangat lagi. Ayahnya pernah membuatkan tongkat untuk membantunya berjalan, tetapi Usep tidak mau. Dia juga pernah ditawari oleh dosennya dibuatkan kaki palsu. Usep tetap tidak mau. Dia sudah merasa nyaman dengan keadaannya.
Meskipun banyak hal yang tidak bisa dilakukan karena keterbatasan fisiknya, Usep hobi naik gunung. Filosofi naik gunung menurut Usep adalah semakin tinggi yang kita capai, semakin luas pandangan kita.
4. Pendakian Tuna Netra
Para TUNET di Gunung Papandayan |
Dikatakan oleh Tarini, Ketua Fellowship of Netra Community (Fency), kegiatan pendakian Gunung Papandayan dilakukan berdasarkan keinginan dari anggota komunitas yang biasa disebut Tunet ini. Pendakian dilakukan pada 1-3 November lalu, dengan melibatkan delapan anggota Tunet, 24 relawan, dan lainnya. Total sekira 40 orang mengikuti kegiatan pendakian dengan menggunakan dua minibus.
Meski tidak bisa melihat, Satryo (31) tidak patah semangat untuk menaklukkan Gunung Papandayan bersama Fency. Seorang relawan Fency sempat memberitahukannya informasi tentang kegiatan pendakian Gunung Papandayan, tanpa ragu dia langsung mendaftar. Ini merupakan pendakiannya yang kedua kali.
Dia mengaku tidak menemui kesulitan selama melakukan pendakian karena para relawan selalu berada di sisinya untuk menunjukkan jalan serta menarasikan apa yang tak bisa dilihatnya.
“Pertama saya mendaki Gunung Salak, cuma enggak sampai puncak karena waktu itu cuacanya buruk. Nah, pas ke Papandayan saya langsung sujud syukur begitu sampai atas,” tutur guru privat ini.
Sebelum mendaki gunung setinggi 2.665 mdpl itu, Satryo menyiapkan fisiknya dengan jogging setiap pagi dan sering berjalan ke rumah murid les privatnya. Ini intens dia lakukan tiga pekan sebelum pendakian. Hebatnya, selama pendakian dia bahkan hanya memakai sepatu kets yang biasa dipakai untuk bekerja, bukan sepatu khusus mendaki gunung.
“Saya berterima kasih kepada relawan yang menuntut. Saya dipegangi meski bergantian dan dinarasikan ketika ada batu atau harus lompat sampai akhirnya saya mencapai puncak Gunung Papandayan,” imbuhnya.
5. Pendakian Gunung Ijen, Banyuwangi
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, Gede Komang mengatakan Ekspedisi penyandang disabilitas ke Kwah Ijen ini merupakan upaya menambah wawasan bagi penyandang disabilitas dan juga membuktikan dibalik kekurangan mereka memiliki kelebihan yang luar biasa.
sumber:
http://travel.kompas.com/
http://lifestyle.okezone.com/
http://media.iyaa.com/
http://issuu.com/
http://www.belantaraindonesia.org/