Kisah para penjual kerupuk
1. Agus Wahyono
Ada banyak penjual kerupuk tunanetra seperti Agus. “Kalo pagi dari rumah Meruya Selatan, muter dulu ke Kelapa Dua, Relasi Jl Arteri, sorenya mangkal di Joglo,” kata Sahwono, juga tunanetra pedagang kerupuk. Rute itu berjarak tak kurang dari 10 km.
Biasanya para pedagang kerupuk tunanetra ini berjualan di jalan dari pagi hingga sore hari atau malam hari. Pukul 9 pagi hingga 4 sore, atau berangkat pukul 2 siang hingga 9 malam. Permasalahan seperti polusi kendaraan dan kemacetan menjadi makanan sehari-hari.
2. Tati Sugiarto
Kini mereka berharap pemerintah kota menyediakan lampu merah dengan suara. Tunanetra juga ingin ada jalan khusus bagi tuna netra di jalan-jalan kecil yang mereka lalui, bukan hanya di jalan besar utama di Jakarta. Beberapa bahkan hanya mengharapkan pembuatan selokan yang lebih ramah. Mereka menginginkan selokan yang tidak terlalu dalam (karena banyaknya kemungkinan terjerembab), dilapisi dengan kawat atau ditutup rapat.
3. Andi Arifin
HILIR mudik kendaraan menghiasi ruas Jalan Rasuna Said, Telukbetung Utara, Bandarlampung, kemarin siang. Tak jarang satu sama lain mencoba mendahului. Akibatnya, penyeberang jalan harus berhati-hati berjalan memotong laju kendaraan. Terlebih bagi Andi yang sejak usia delapan tahun harus kehilangan penglihatannya.
Dengan mengandalkan indra pendengaran dan sebuah tongkat besi di genggamannya, ia mencoba mengamati kapan waktu yang tepat agar dapat menyeberang. Sesekali dirinya yang saat itu turut memikul kerupuk jualannya memberanikan diri untuk menyeberang. Namun suara klakson dari kendaraan berkecepatan tinggi berkali-kali menghentikan kakinya untuk menginjak aspal.
4. Yono
Sehari-hari, Pria asal Pemalang, Jawa Tengah, ini berkeliling kawasan Palmerah untuk menjajakan kerupuknya kepada warga. Yono mulai berkeliling dari pukul tujuh pagi hingga lima sore. Yono mengaku terpaksa memilih berdagang kerupuk seusai berhenti menjadi tukang pijat karena kalah saing dengan panti pijat plus-plus yang marak di Jakarta.
"Saya pertama kali ikut bos ke Jakarta untuk memijat, cuma berhenti karena kalah saing dengan pijat plus-plus itu," ujarnya.
Banyak suka-duka yang sudah dialami Yono, mulai dari para pembeli yang terkadang membayar kurang hingga menabrak-nabrak saat berjalan karena belum mengenal medan. Meskipun begitu, Yono mengatakan masih banyak orang yang baik kepada dirinya. Yono tetap tabah menjalani hidupnya sebagai pedagang kerupuk keliling.
5. Saono
Saono adalah seorang tuna netra. Meski tidak bisa melihat, Saono tetap merantau. Dia datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Dia mengambil prefesi sebagai tukang pijat. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, kini Saono menjadi "pria panggilan". Dia melayani pesanan pijit di rumah-rumah melalui telepon. "Saya ini datang ke rumah-rumah, jadi tukang pijit keluarga," ceritanya lebih lanjut.
Tetapi karena tukang pijit tuna netra makin banyak sekarang, maka panggilan untuk pijit kadang-kadang sepi, dia memilih pekerjaan sampingan sebagai penjual kerupuk. Saono diantar tukang ojek dengan bayaran Rp 10.000 pergi pulang (PP) dari kediamannya ke Jalan Joglo Raya tepatnya di Puri Botanical Residence, Jakarta Barat. Dia dan beberapa temannya sesama tuna netra dan tukang pijit menjajakan kerupuk di kawasan itu setiap sore mulai pukul 15.30 WIB sampai pukul 20.00 WIB atau paling lambat pukul 20.30 WIB.
"Jangan pernah lupa untuk selalu bersyukur. Dan berbagi adalah salah satu cara untuk bersyukur atas nikmatNya."
"Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya dengan beban perintah dan larangan. Karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus: Ada yang bersyukur, namun ada pula yang kafir." (QS. Al-Insan: 2-3)
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya". (QS. Ibrahim:34)
http://www.radarlampung.co.id/
http://megapolitan.kompas.com/
http://ciar-ciar.blogspot.com/
video from:
www.youtube.com