10 Pelukis Tuna Daksa di Indonesia
kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, Kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan Otak dan saraf tulang belakang
1. Benyamin Tan
Benjamin, begitu ia biasa disapa, menyukai aliran naturalis. Tiap melukis, nuansa bunga selalu terlihat dari hasil goresannya. Hasilnya tak jauh berbeda dengan karya lain yang pelukisnya memiliki kondisi fisik lebih sempurna. Hasil Lukisannya ia kirim ke Asosiasi Pelukis Mulut dan Kaki International dan mendapatkan hasil dan lukisannya yang terjual.
Kini ia menetap di Jakarta. Dengan pernikahan sebelumnya dengan Supina, wanita asli jawa, ia memiliki dua anak berumur 12 dan 2 tahun. dan kini, ia ditemani istrinya Lia, wanita yang dinikahinya tahun 2007, yang dengan setia menemani hari-harinya. "jangan mudah putus asa, lihat saya, meskipun saya cacat, tapi saya tidak putus asa" ujar pria periang ini saat diwawancara salah satu stasiun televisi.
Agus Yusuf, 35, tidak pernah bermimpi bahwa ia akan menjadi bagian dari Asosiasi Seniman Lukisan Mulut dan Kaki. Ini adalah organisasi untuk mulut dan kaki lukisan dasar seniman di Swiss. Setiap bulan, ia mengirim tiga lukisan ke Swiss. Untuk satu lukisan Agus telah dibayar Rp6 juta (US $ 600). Jika salah satu lukisannya dipilih untuk tujuan komersial seperti untuk kartu pos dia akan dibayar lebih US $ 600. Sampai 2005 (setelah tujuh tahun), setidaknya 30 peaces lukisannya dipilih untuk tujuan komersial.
Awalnya memang tidak mudah, namun berkat upaya kerasnya, kini Salim bisa menghasilkan karya-karya lukis yang sangat indah. Semua karya lukisannya dikirim ke Swiss melalu Association of Mouth dan Foot Painting Artist atau AMFPA.
- Cara unik bersedekah, 10 warung sedekah di Indonesia
- 10 Hotel peninggalan Belanda di Indonesia
- 10 Ciri smartphone non original atau palsu
Faisal Rusdi lahir di Bandung, 2 November 1974. Sejak kecil Faisal menderita celebral palsy. Karena keterbatasan itu, ia disekolahkan di Sekolah Luar Biasa D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Bandung. Artinya, ia dikategorikan sebagai penyandang disabilitas tubuh dan mental. Pembedaan ini membuat Faisal merasa tersingkir. Pasalnya, siswa SLB D dipersiapkan masuk ke sekolah umum. Sedangkan siswa SLB D1 seperti Faisal hanya diberi keterampilan. Alasannya, penyandang disabilitas tubuh dan mental tidak bisa menangkap materi pelajaran.
Faisal kemudian mengasah kemampuan seninya di Sanggar Lukis Rangga Gempol, Bandung. Sanggar itu milik pelukis terkenal almarhum Barli. Namun, seperti halnya di YPAC, di sanggar ini juga Faisal mengalami diskriminasi. Dia dianggap tidak mampu mencerna materi kursus yang diberikan seperti peserta lain. Karena itu Faisal selalu belajar sendiri dalam satu ruangan. Dia merasa kembali dipinggirkan keadaan, tapi tidak berdaya. “Kenapa saya harus dibedakan dari yang lain? Kalau saya memang tidak bisa, ya sudah. Tapi paling nggak saya dikasih kesempatan yang sama dengan anak-anak lain,” katanya.
Setelah merasa biasa dan mampu melukis menggunakan mulut, pada tahun 2001 Faisal mendaftar menjadi anggota AMFPA. Dia mengirimkan beberapa lukisan ke AMFPA yang berpusat di Swiss. Jawaban permohonan tersebut baru terjawab tahun 2002. Faisal diterima menjadi student member AMFPA.
Sabar adalah salah satu dari sedikit pelukis cacat yang melukis menggunakan kaki. Yang membuatnya bangga, ia bisa masuk menjadi anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA).
Saat duduk di bangku Kelas I SDN Kalicacing 2, Salatiga, bungsu dari tiga bersaudara itu pernah meraih juara pertama lomba lukis tingkat Kota Salatiga. Dan, sejak kelas V SD, ia pun memutuskan untuk menggeluti dunia lukis sebagai jalan hidupnya.
Kini, sudah ratusan lukisan yang ia buat dengan kakinya. Dan, sebagian dari lukisan tersebut telah dinikmati orang Kanada, Australia, Amerika Serikat, Korea serta sejumlah negara lain.
Perempuan yang lahir 34 tahun silam ini mengatakan, sejak kecil dia sudah gemar menggambar. Saat itulah Patricia mulai terbiasa melukis dengan kedua kakinya. Baru pada 1988, dia mulai belajar melukis secara profesional. Kini, Patricia terbiasa melukis di atas kertas bambu atau sutra dengan media cat air. Untuk satu lukisan, Patricia dapat menghabiskan waktu 2-3 pekan. Objek yang dipilih sebagai sumber inspirasinya biasanya digali dari keindahan alam, terutama flora dan fauna.
Meskipun hanya menggunakan siku tangannya, hasil lukisan Sayang Bangun justru mampu memiliki nilai jual tinggi. “Semua lukisan saya harganya minimal Rp10 juta rupiah”, ujar ayah tiga orang anak tersebut.
Setelah impiannya bergabung dengan AMFPA (Assosiation of Mouth and Foot Painting Artists) terwujud, ia mengaku masih memiliki impian yang sampai sekarang belum terwujud. Ia ingin memiliki sebuah geleri lukisan.
“Pak SBY pernah berkata kepada saya kalau dia mau membantu saya mendirikan galeri lukisan, tuturnya. Kala itu, di acara Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) yang digelar pada 19 Desember 2007 di Lapangan Merdeka Medan, SBY beserta rombongan hadir,” ujarnya.
Sehari-hari, Asroel tinggal di kamar kosnya di Banjar Kedewatan, Ubud. Melukis adalah rutinitas yang dilakoni seorang diri. Asroel biasanya menjepit kuas lukis di antara jari kaki kanan. Satu lukisan beraliran surealis mampu dia selesaikan dalam waktu satu pekan.
Bakat melukis Asroel terlihat sejak kecil dan saat tamat sekolah menengah atas ia merantau ke Yogyakarta. Putra pasangan Asbi Kinoh dan Serani ini lalu bekerja sebagai pelukis jalanan. Setelah beberapa tahun di Yogyakarta, Asroel mengadu nasib ke Bali dan bertemu seorang turis Australia yang memberinya modal usaha lukis.
Kini, Asroel sanggup menghidupi seorang istri dan satu anak dari hasil lukisnya. Hasil karya Asroel dihargai berkisar Rp 1 juta hingga Rp 15 juta. Lukisan Asroel banyak diminati para kolektor seni asal Eropa.
yang paling penting bukanlah fisik yang kita miliki, tapi semangat hidup dan kerja keras yang dapat mengubah kehidupan kita untuk menjadi lebih baik. sehingga apa yang ada dalam fikiran kita dapat kita kembangkan lagi dan berani tampil beda.
masih ingatkah anda kisah seorang pelukis sukses “Sadikin Pard/ Sadikin Soepardi”? beliau adalah salah seorang pelukis yang tanpa memiliki kedua lengan. sangat tidak mungkin memang, melukis tanpa menggunakan lengan, tapi itu yang terjadi pada Pak Sadikin, Lelaki berusia 44 tahun asal Kota Malang tersebut mampu membuktikan bahwa kekurangan bukanlah alasan untuk berkarya. justru dari kekurangan itulah dapat menjadi suatu keunggulan dan mampu menciptakan suatu karya luar biasa. sehingga dapat menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri, keluarga, sanak saudara, daerah asal, bahkan bagi bangsanya.
jadi, ubahlah kekurangan dalam diri kita menjadi suatu keunggulan. tunjukkan bahwa kekurangan bukanlah kendala untuk memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik.
10. Trimah
Rutinitas itu mulai dijalani oleh dara yang kedua lengannya tak tumbuh normal ini, sejak tahun 2010 silam. Selain kedua lengannya, ia juga mengalami kendala saat berbicara dengan intonasi yang kurang jelas. Meski begitu, Trimah yakin benar bahwa kondisinya ini merupakan pilihan terbaik yang diberikan kepadanya.
Gerakan kakinya lincah saat mengambil canting yang ia jepit diantara jari - jari kaki kanannya. Sedangkan kaki kirinya ia gunakan untuk menahan kanvas yang tak jarang bergeser posisinya.
Remaja asal Magelang ini, tak mau menyerah pada keadaan. Ia juga tak mau dikasihani dan dibedakan hanya karena kondisinya itu. Hal ini ia buktikan bahkan sejak memasuki usia sekolah dasar. "Dari SD hingga SMA saya tidak masuk ke sekolah luar biasa, tapi saya memilih belajar di sekolah umum," jelasnya.
source:
http://sosbud.kompasiana.com/
http://forum.upi.edu/
http://diffaonline.com/
http://liferuminating.blogspot.com/
http://www.solopos.com/
http://sabarsubadri.wordpress.com/
http://siswowidodo.wordpress.com/
http://id.berita.yahoo.com/
http://www.slbk-batam.org/
http://madiuncool.blogspot.com/
http://world-spy.blogspot.com/
http://news.liputan6.com/
http://www.waspada.co.id/
http://www.tribunnews.com/
bilmana terdapat keslahan dalam artikel di atas, mohon diralat, terima kasih